Pencarian

Rabu, 09 Agustus 2017

Takfiri dan Perkataan Dusta Tentang Allah


Dunia Islam dewasa ini dilanda suatu kekacauan yang seolah-olah timbul dari dunia islam itu sendiri. Satu kaum berselisih dengan kaum yang lain sehingga umat islam menjadi terbelakang dibandingkan dengan superioritas negara yang lain. Salah satu problematika yang menjadikan umat islam mengalami kemunduran adalah munculnya kedustaan terhadap Allah SWT.  Kedustaan itu menjadikan umat islam tertutupi dari islam yang sebenarnya, dan menjadi umat yang tidak berjalan untuk mencari Allah.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.  Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka) (QS An-Nisaa : 49-50)
Kedustaan terhadap Allah itu adalah dosa (itsm) yang nyata,  membuat manusia tidak mengetahui kebenaran yang hendak Dia sampaikan.  Dosa (itsm)  menjadikan manusia berpegang pada sebuah prasangka (dzann)  yang tidak diketahui kebenaran atau kesalahannya, namun orang-orang yang mengikutinya menyangka bahwa prasangka (dzann) itu sebuah kebenaran.

Karena berlandaskan pada prasangka (dzann) itu pula umat islam terombang-ambing tidak mempunyai kemampuan untuk melahirkan peradaban berdasarkan tuntunan islam secara menyeluruh. Justru keinginan untuk membuat peradaban berlandaskan islam itu acapkali menjadi boomerang yang menghancurkan umat islam. Keinginan itu dimanfaatkan oleh orang-orang musyrik untuk menimbulkan kekacauan di dunia islam. Mereka membuat sebagian muslimin menjadi orang-orang yang  haus kekuasaan dan mau memanfaatkan islam untuk memperoleh kekuasaan. Dengan orang-orang seperti itu dimunculkan kekacauan yang merusak masyarakat islam, dan dimunculkan image sehingga islam menjadi suatu ajaran yang menakutkan.

Latar Belakang Takfiri

Kedustaan terhadap Allah itu muncul bukan berasal dari pihak lain, tetapi berasal dari dalam  umat islam sendiri. Ajaran kedustaan itu berasal dari umat islam yang menganggap dirinya bersih. Mereka adalah orang-orang yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling mendapatkan petunjuk pada jalan Allah. Dengan paham semacam ini, mereka  muncul sebagai golongan orang yang mengatakan orang lain sebagai kafir,  atau dikatakan sebagai golongan  berpaham takfiri.

Dalam islam, mensucikan diri merupakan salah satu pokok menuju tauhid. Pemahaman terhadap alquran hanya bisa diperoleh dengan kesucian hati, dan hanya dengan memahami alquran seseorang dapat menemukan jalan untuk melangkah untuk mendekatkan diri menuju Allah. Setiap manusia dilahirkan suci dengan membawa fitrah diri masing-masing, namun bersamaan dengan perkembangannya di dunia, penyakit hati manusia akan tumbuh karena pengaruh dunia. Fitrah diri akan membawa manusia mengenal Allah, sedangkan penyakit hati manusia akan menjerumuskan manusia mencintai hal-hal duniawi, baik berupa harta maupun penghormatan dari makhluk.

Mensucikan diri adalah mensucikan hati dari penyakit-penyakit hati. Pensucian diri adalah pertarungan seseorang dengan dirinya sendiri berupa  hawa nafsu, agar jiwa tetap berada dalam fitrahnya masing-masing terbebas dari pengaruh keinginan terhadap penghormatan dan kecintaan terhadap harta. Mensucikan diri dengan cara melihat dan menyalahkan kesalahan orang lain merupakan sebuah ketergelinciran dari pensucian diri yang dikehendaki Allah. Itulah yang dimaksudkan dalam ayat 49 surat An-Nisaa sebagai orang yang menganggap diri mereka bersih. Mereka menganggap diri mereka bersih, dan menganggap  orang lain sebagai kaum yang banyak melakukan kesalahan yang harus dibetulkan. 

Hal seperti itu tidak terjadi dengan sendirinya tanpa suatu ajaran yang salah.  Mereka menjadi seperti itu  karena mempunyai landasan akidah  yang mengantarkan mereka dalam paham yang demikian. Ada sebuah bid’ah yang diselipkan dalam metode mencapai kemurnian beribadah mereka, sedemikian sehingga bid’ah itu menjadikan mereka memandang bahwa umat islam tidak bersih dari kesyirikan, dan dalam pandangan mereka hal itu harus kembali dimurnikan. Dengan bid’ah itu, mereka memandang diri mereka sebagai kaum yang murni, sedangkan kaum yang lain perlu dimurnikan. 

Hal itu dapat kita jumpai tercantum dalam qawaid al arba’ yang menjadi tuntunan kaum yang menganggap dirinya bersih. Qawaid al arba’ itu menjadi tuntunan  bagi mereka dalam mencapai keikhlasan dalam beribadah, padahal empat qaidah  itu akan mengantarkan orang-orang untuk menganggap diri sebagai orang yang bersih dan sekaligus berpaham takfiri. Pada qaidah pertama, mereka menyerupakan orang kafir dengan orang islam karena orang kafir pun mengatakan bahwa pencipta mereka adalah Allah. Berikutnya  mereka membuat persangkaan tentang usaha mencari syafaat dari orang shalih sebagai kemusyrikan dan menganggap berbagai muamalah sebagai bentuk kemusyrikan. Pada akhirnya pada qaidah ke-empat dibuat paham bahwa orang musyrik saat ini lebih buruk daripada musyrikin pada masa rasulullah SAW. Empat landasan itu adalah sebuah bid’ah yang diada-adakan (muhdatsat) dan diselipkan dalam ibadah mereka kepada Allah. Dengan bid’ah itu, sebagian umat islam melenceng menjadi kaum khawarij yang memerangi umat islam sendiri, menjadi agen musyrikin untuk memerangi muslimin.
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS Ar-Ruum : 31-32)

Perkataan Dusta terhadap Allah

Orang-orang yang menganggap dirinya bersih itu juga membuat perkataan-perkataan dusta tentang Allah. Mereka membuat ilmu tauhid padahal mereka tidak mengetahui ilmu tauhid sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Perkataan-perkataan mereka hanyalah sebuah dosa (itsmun), sehingga mereka menyangka bahwa perkataan mereka itu adalah kebenaran. Mereka menganggap perkataan yang dibuat oleh panutan mereka sebuah kebenaran mutlak padahal panutan mereka tidak memahami apa yang difirmankan oleh Allah. Mereka hanya mengambil sebagian dari ayat-ayat Allah dan meninggalkan yang lain.

Seseorang tidak akan memahami Allah dengan sempurna, kendati seorang Rasulullah SAW. Beliau SAW adalah makhluk yang paling mengenal Allah, akan tetapi beliau tidak mengenal sedikitpun tentang zat Allah SWT. Beliau adalah makhluk yang paling mengenal Allah karena beliau mengenal makhluk hingga ufuk yang tertinggi, akan tetapi beliau tidak sedikitpun mengenal zat Allah SWT. 

Tidak ada seorangpun yang bisa mengenal Allah kecuali dengan mengenal dari makhluk-Nya. Pengenalan itupun akan terbatas, sebatas kemampuan dirinya. Rasulullah SAW mengenal seluruh makhluk yang diciptakan Allah hingga ufuk tertinggi, karena seluruh makhluk diciptakan bagi beliau. Batasan kemampuan (ufuk)  setiap orang diciptakan berbeda, akan tetapi setiap orang diberi semesta yang sesuai kemampuannya. Tidak ada seorangpun atau satupun makhluk yang mempunyai kemampuan mengenal Allah seperti rasulullah SAW. 

Seseorang hanya bisa dan hanya dituntut untuk berusaha mengenal Allah sesuai dengan kemampuan dirinya. Mengenal Allah hanya dapat dilakukan dengan hatinya, tidak dengan logika di kepala.. Membaca Alquran dengan hati yang disucikan merupakan jalan untuk mendekat dan mengenal Allah, sedangkan membuat definisi tentang Allah merupakan perkataan-perkataan dusta tentang Allah.

Tauhid dalam islam

Tauhid menurut bahasa (etimologi) artinya menjadikan sesuatu itu satu. Dalam al-quran, tauhid merupakan penjabaran dari surat al-ikhlash :
Katakanlah : Dia adalah Allah yang Esa (Ahad) (QS al-ikhlash : 1)
Dia (Huwa) adalah dzat yang maha wujud, tidak berawal dan tidak berakhir yang telah menciptakan segala sesuatu.  Wujud Huwa (Dia) dijelaskan sebagai tidak ada yang semisal bagi-Nya sesuatu pun. Tidak ada yang bisa mengenal Huwa sedikitpun, baik wujud-Nya, keagungan-Nya, shifat-Nya atau apapun, kecuali diri-Nya sendiri.

Tauhid Uluhiyah

Huwa (Dia) berkehendak untuk dikenal. Kehendak-Nya adalah untuk dikenal dengan asma “Allah”.  Surat al-ikhlas  ayat 1 menjelaskan tentang perintah  kepada makhluk untuk berkata : “Dia (Huwa) adalah Allah yang Esa (Ahad)”. Maksud perintah-Nya berupa  “katakanlah” bukanlah sekadar untuk berkata, tetapi untuk berkata-kata dengan pengetahuan. Maka perintah itu dijabarkan rasulullah SAW sebagai kalimat syahadat (persaksian) yaitu : “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah”. Persaksian tidak akan  bermanfaat dan tidak sah tanpa disertai dengan pengetahuan.

“Allah”  adalah nama yang dikehendaki-Nya untuk dikenal makhluk, sebagai aspek dzahir Huwa (Dia)  yang bisa dikenal oleh makhluk. Tidak ada satupun makhluk yang mengenal aspek bathin Huwa (Dia)  karena tidak ada sesuatupun yang bisa menjadi misal bagi-Nya. Dia (Huwa) berkehendak agar nama “Allah” dikenal sebagai ilah, yaitu  sesuatu yang menjadi puncak kecintaan makhluk. Itu adalah tauhid uluhiyah.

Tauhid uluhiyah dapat dilakukan dengan mengenal rububiyah dan asma serta sifat-sifat yang diperkenalkan-Nya dalam segenap ufuk. Di dalam asma “Allah” terkandung seluruh aspek rububiyah dan asma serta sifat-sifat-Nya. Seseorang yang dengan ikhlash mencermati ufuk semesta dan dalam dirinya niscaya akan menemukan al-haq.

Tauhid Rububiyah

Huwa (Dia) menggunakan nama “Allah” menciptakan makhluk agar makhluk bisa mengenal nama “Allah” sebagai ilah. Dalam fase penciptaan dan setelahnya, “Allah” dikenal dengan martabat Rabbul-‘alamiin.  Sebelum ada penciptaan, tidak ada pangkat rabb disematkan bagi-Nya.  Martabat  Rabbul ‘alamiin menunjukkan bahwa Allah menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Tanpa  martabat-Nya sebagai rabb, alam semesta akan lenyap tidak ada yang menjaga.

Dalam martabat rububiyah-Nya, dia menciptakan manusia dan jinn untuk menjadi hamba sebagaimana dikatakan dalam surat adz-dzariyat : 6. Ubudiyah (penghambaan) manusia dan jinn ditujukan kepada-Nya dalam martabat rububiyah. Ubudiyah (penghambaan) yang sebenar-benarnya oleh makhluk kepada rabb akan mengantarnya untuk mengenal Allah sebagai ilah. Bukti ubudiyah makhluk yang sebenar-benarnya ditandai dengan diutusnya ruh-alquds yang membawa amr (urusan) rabb bagi hambanya. Amr rabb itu adalah urusan untuk apa diri seseorang diciptakan, sehingga dikatakan dia mengenal dirinya.  Itulah tauhid rububiyah.

Ubudiyah seorang manusia atau jinn bukanlah sebuah kedudukan hina, justru ubudiyah itu akan mengangkat dirinya mengenal martabat yang lebih tinggi. Pada ujung ubudiyah seorang hamba, Allah berkehendak memberikan amr (urusan) rububiyah kepadanya, berupa urusan pemakmuran bumi, agar hamba itu mengenal bahwa hanya Allah SWT yang layak menjadi ilahnya. Hal itu terjadi bila akhlak makhluk mencapai bentuk sempurna, bentuk ciptaan yang penuh kemuliaan, akhlakul karimah.

Setiap makhluk mendapatkan rububiyah dari rabbul ‘alamin. Pada setiap makhluk terdapat ruh sebagai bentuk rububiyah-Nya yang membuat sesuatu ada dan bertahan. Dengan ruh, seseorang yang terluka dapat kembali utuh tersembuhkan, sedangkan tanpa ruh, jasad manusia akan lenyap kembali kepada tanah.  Dalam setiap materi, terdapat ruh yang memberikan wujud keadaannya. Allah tidak memerlukan sesuatupun untuk melaksanakan rububiyah, tetapi urusan pemakmuran bumi diberikan kepada manusia yang benar-benar menghambakan diri pada-Nya agar manusia mengenal ilahnya.

Asma’ dan Shifat

Asma’ dan shifat-Nya sangatlah agung, terpancar di segenap ufuk ciptaannya. Setiap ciptaannya membawa nama yang membawa  al-haq  yang menunjukkan asma  Allah. 

Di antara seluruh ciptaan-Nya, manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk menunjukkan asma Allah. Manusia diciptakan dari tanah, dilengkapi dengan jiwa  yang mempunyai fuad yang dapat berkembang sempurna  hingga menjadi lubb. Dengan lubb yang sempurna, maka ruh al-quds yang membawa amr dari rabb mendapatkan tempatnya. Ketika itulah manusia menjadi makhluk-Nya yang paling sempurna untuk menunjukkan asma Allah.

Untuk mengubah jiwanya, manusia harus memohon dengan nama-Nya dan menghidupkan sifat-sifat dirinya sesuai dengan  asma’ul husna dan sifat-sifat terpuji yang sesuai dengan dirinya, terutama asma Arrahmaan dan Arrahiim.  Dengan memohon dan menghidupkan asmaul husna dalam diri, jiwa manusia akan berubah menuju kesempurnaan, dari jiwa yang menyuruh kepada keburukan menjadi jiwa muthmainnah. Dengan jiwa muthmainnah, fuad yang dikaruniakan kepada dirinya akan berkembang hingga menjadi lubb. Itulah tauhid asma dan shifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar